JUDUL

Monday 8 April 2013

TEUKU CUT ALI PEJUANG DARI ACEH SELATAN

Teuku Cut Ali dilahirkan di Desa Kuta Baro, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, tahun 1795. Ayahnya, Teuku Cut Hajat, ibunya Nyak Puetro. Teuku Cut Ali, salah satu keturunan Raja Trumon.
Kakeknya, Teuku Nyak Dhien, Raja keenam yang pernah memimpi Kerajaan Trumon.Trumon, merupakan salah satu daerah termasyur dan makmur di Wilayah Aceh Selatan. Itu disebabkan, karena Kerajaan Trumon, merupakan sembilan dari kerajaan Aceh yang memiliki Cap Sikureng (Cap Sembilan). Trumon, mempunyai mata uang sendiri dan tidak saja diakui di Aceh, tapi juga dunia.


Sejak kanak-kanak, Teuku Cut Ali, sudah memiliki bakat seorang pejuang. Itu, terlihat dari sikapnya yang tegas dan setia kepada teman. Teuku Raja Angkasah, merupakan teman akrab Teuku Cut Ali, mereka sama-sama berjuang melawan Belanda di medan perang. Saat usia 18 tahun, Teuku Cut Ali, sudah ikut berperang melawan Belanda.


Beranjak usia 20 tahun, Teuku Cut Ali, dipercayakan menjadi Panglima Sagoe dan sejumlah pejuang Aceh berada di bawah pimpinannya. Dipilihnya Teuku Cut Ali sebagai Panglima Sagoe, selain memiliki kemampuan dalam memimpin perang, dia juga menguasai ilmu bela diri. Itulah, yang membuat para pejuang Aceh saat itu, sepakat untuk menunjuk Teuku Cut Ali sebagai Panglima Sagoe.

Pada masa penjajahan Belanda, Bakongan merupakan pusat pemerintahan militer Belanda di Wilayah Selatan. Ini disebabkan, Bakongan terdapat satu tangsi atau Asrama Militer Belanda. Asrama ini dibangun di atas tanah dua hektar, tepatnya di pinggir Kota Bakongan atau di Kantor Koramil dan Polsek Bakongan sekarang. Berdekatan dengan pantai.


Dipilihnya Bakongan sebagai pusat militer Belanda, bertujuan untuk memudahkan menumpas dan melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh di Bakongan pada perang tahun 1925–1927. Perlawanan rakyat itu dibawah pimpinan Teuku Cut Ali dan Teuku Raja Angkasah. Dalam berperang melawan Belanda, gerilya adalah taktik dan strategi yang dilakukan Teuku Cut Ali dalam menyerang dan menghadang musuh. Dia dan pejuang lainnya, menyerang Belanda pada malam hari. Setelah menyerang, dan pihak musuh jatuh korban, Cut Ali dan prajuritnya menyingkir ketempat lain, sehingga membuat Belanda kewalahan untuk mencari jejak Cut Ali dan pengikutnya.


Ketika perang di Seunebok Keuranji pecah, salah satu desa di Kecamatan Bakongan Kabupaten Aceh Selatan, banyak pasukan Belanda yang menjadi korban. Teuku Cut Ali, mengalami luka parah, akibat terkena peluru pasukan Belanda. Namun, Cut Ali dan pasukannya berhasil menyingkir ke dalam hutan untuk menghindari kejaran Belanda.


Pada tahun 1826, perang di Gunong Kapoe (Gunung Kapur), kemudian berlanjut ke Desa Buket Gadeng, Kecamatan Bakongan, terjadi peperangan yang sangat hebat, antara pihak pejuang dengan Belanda. Dalam perang itu, Teuku Raja Angkasah, sahabat Teuku Cut Ali, syahid di tangan Letnan Molenaar, komandan pasukan Belanda dalam perang tersebut.


Syahidnya Teuku Raja Angkasah, tidak membuat semangat Teuku Cut Ali dan pasukannya patah. Dalam perang di Terbangan, salah satu desa di Kecamatan Pasie Raja Kabupaten Aceh Selatan, Letnan Molenaar, komandan perang pasukan Belanda, tewas di tangan Teuku Cut Ali. Kemenangan demi kemenangan diraih Teuku Cut Ali dan pejuang lainnya sejak tahun 1826. Banyak jatuh korban di pihak Belanda. Kondisi ini, jelas membuat Belanda semakin gerah dan dendam terhadap Cut Ali. Dia, tidak hanya memimpin perang di wilayah Bakongan, tapi sampai ke Wilayah Kluet, Kabupaten Aceh Selatan.


Pada Juni 1826, Teuku Cut Ali dan pejuang muslimin lainnya, kembali melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda, di dekat Gampong Ie Mirah, Kecamatan Pasie Raja. Dalam penghadangan ini, satu marsose Belanda tewas. Di pihak pejuang Aceh syahid sembilan orang. Tapi, Cut Ali dan pasukannya, terus gencar melakukan serangan terhadap Belanda. Tanggal 26 Mei 1827, Teuku Cut Ali bergerilya ke wilayah Terbangan, Kecamatan Pasie Raja, untuk menyusun strategi dan melakukan penyerangan serta penghadangan terhadap pasukan Belanda. Namun, jejaknya diketahui Belanda yang saat itu dipimpin Kapten Paris atau dikenal dengan julukan Singa Afrika. Kapten Paris sengaja dikirim khusus oleh Belanda untuk menumpas dan melumpuhkan para pejuang Aceh yang di pimpin Teuku Cut Ali. Dengan jumlah pasukan yang banyak, Kapten Paris menyusun strategi untuk menghadang dan melumpuhkan Teuku Cut Ali dan pejuang lainnya. Maka, terjadilah perang yang sangat dahsyat antara pejuang Aceh dibawah pimpinan Teuku Cut Ali dan Belanda di bawah komando Kapten Paris.


Dalam perang ini, Teuku Cut Ali, didampingi Tgk Banta Saidi, atau lebih dikenal dengan Raja Lelo.Dia adalah panglima perang di Wilayah Kluet. Korban pun berjatuhan, baik di pihak pejuang maupun Belanda. Dan, akhirnya, Teuku Cut Ali syahid di tangan Kapten Paris. Melihat Cut Ali syahid, Raja Lelo menyerang balik Kapten Paris. Dengan kehebatan ilmu dalam yang dimilikinya, Raja Lelo berhasil melumpuhkan Kapten Paris dengan cara menyeruduk kemaluannya hingga tewas.


Dalam perang di Aceh Selatan ini, dua komandan perang pasukan Belanda, Letnan Monelaar dan Kapten Paris tewas di tangan Teuku Cut Ali dan Raja Lelo. Jasad Teuku Cut Ali, akhirnya di bawa ke Desa Suaq Bakong, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, dan dikuburkan di sana. Raja Lelo dan pejuang muslimin lainnya, terus melanjutkan perjuangan, menghadapi pasukan Belanda.


No comments: