JUDUL

Tuesday 2 April 2013

Isi surat Kerajaan Aceh dengan Belanda sebelum perang 1873


PERANG Aceh terjadi setelah Belanda mengumumkan perang pada 26 Maret 1873 atau 140 tahun silam. Ada beberapa alasan atas maklumat yang dikeluarkan negara Kincir Angin tersebut.
Diantara keduanya saling balas membalas surat sebelum perang dimulai. Di dalam surat tersebut terdapat ancaman-ancaman diplomatis yang kemudian berhasil dirangkum oleh Prof. Aboe Bakar Atjeh dalam sebuah diktatnya berjudul Surat-surat Lepas yang Berhubungan dengan Politik Luar Negeri Kerajaan Aceh Menjelang Perang Aceh.

Berikut isi beberapa surat yang berhasil dikumpulkan Aboe Bakar sebelum meletusnya perang Belanda di Aceh.
Isi Surat Komisaris Pemerintah Hindia Belanda urusan Aceh Mr. J. F. N. Nieuwenhuyzen tanggal 22 Maret 1873 kepada Sultan Kerajaan Aceh Alauddin Mahmud Syah.
Selanjutnya kita mempermaklumkan kepada Sri Paduka, bahwa telah berkali-kali ternyata para penguasa kerajaan Aceh menyangsikan keinginan dan maksud baik yang diperlihatkan oleh Pemerintah Belanda untuk menghilangkan permusuhan di antara sesamanya, yang sangat merugikan bagi kepentingan umum di bidang niaga dan pelayaran yang tumbuh di kenegerian-kenegerian yang berbatasan dengan kerajaan sedang upaya untuk menciptakan pengertian baik dengan pihak pemerintah bahkan mereka mengabaikan pernyataan-pernyataan yang mendesak itu.
Bahwa belum lama berselang para utusan yang diutus ke riau dengan berkedok persahabatan dan kepercayaan untuk meminta kepada Residen daerah tersebut yang telah pula memberi perlindungan kepada mereka supaya ditunda kedatangaan perutusan politik yang dimaksud dalam surat keputusan Pemerintah bertanggal 31 Agustus 1872 L H2 Rahasia yang telah dimaklumkan kepada Sri Paduka dengan surat Gubernur Sumatera Barat serta diantar dengan kapal perang oleh kontelir Jh. Kraajenhoff yang menurut keterangan para utusan sendiri dengan niat jahat telah meminta bantuan dalal-dalal kekuasaan asing di Singapura untuk memusuhi Pemerintah Belanda.
Bahwa dengan tindakan itu para penguasa kerajaan Aceh telah melanggar pasal satu perjanjian damai, persahabatan dan niaga yang diperbuat tanggal 30 maret 1857 dengan Kerajaan dan oleh karenanya kita datang atas nama Pemerintah Hindia Belanda untuk meminta penjelasan tertulis dari Kerajaan Aceh dan untuk itu kita memberi waktu kepada para penguasa Aceh selama dua puluh empat jam, dengan syarat, bahwa seterima penjelasan itu, kita akan memberitahukan lagi kepada para penguasa tersebut mengenai bentuk hubungan yang menurut pendapat kita wajar diadakan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Aceh untuk selanjutnya dapat dibuka perundingan yang dikehendaki.
Termaktub di kapal uap “Citadel van Antwerpen” tanggal 22 Maret 1873.
Isi Surat Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah tanggal 23 Muharram 1290 H (23 Maret 1873) kepada Komisaris Pemerintah urusan Aceh, Mr. J. F. N. Nieuwenhuyzen.
Selanjutnya kita maklumkan kepada sahabat kita, bahwa kita telah menerima suratnya serta maklum akan isinya dan bahwa persahabatan kita dengan Pemerintah Hindia Belanda tidak berobah sampai sekarang.
Dalam pada itu kita telah mengirim ke Riau surat kita yang mengandung maksud supaya perutusan yang akan dikirim ke Aceh dapat hendaknya ditunda dahulu sampai kita memperoleh jawaban Sultan Turki atas surat yang kita tujukan kepadanya.
Segera setelah kita menerima perintah dan berita raja tersebut, kita akan memberitahukan kepada sahabat kita.
Juga baru-baru ini kita telah mengirim utusan kita ke Riau untuk mengurus penyelesaian masalah kapal “Gipsy”; hanya itulah tugas utusan. Akibatnya itu kini telah timbul persahabatan terbatas dan jika bukanlah karena menunggu jawaban Sultan Turki, maka kita akan sangat sukacita untuk berunding dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Termaktub pada tanggal 23 bulan Muharram, hari ahad tahun 1290 H.
Isi Surat Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah tanggal 25 Muharram 1290 H (25 Maret 1873) kepada Komisaris Pemerintah urusan Aceh, Mr. J. F. N. Nieuwenhuyzen.
Selanjutnya kita mempermaklumkan kepada sahabat kita, bahwa surat yang dibawa oleh Sidi Tahil telah kita terima dengan selamat, setelah itu telah kita buka serta maklum akan isinya. Di dalamnya sahabat kita mengharapkan untuk memperoleh jawaban kita dalam waktu dua puluh empat jam.
Sekarang dengan sukacita kita mempermaklumkan kepada sahabat kita, bahwa kita telah mengutus utusan kita Panglima Tibang Mohamad dan hulubalang-hulubalang untuk menemui Residen Riau, yaitu Teuku Nyak Mohamad sebagai kuasa Teuku Kali Malikul Adil; Teuku Nakhoda Mohamad Said sebagai kuasa Teuku Nanta Setia dan Teuku Nyak Agam sebagai kuasa Panglima Mesjid Raya bersama sebuah surat untuk Residen tersebut untuk meminta supaya keberangkatan perutusan Pemerintah ke Aceh dapat hendaknya ditunda selama enam bulan.
Setelah mereka berada di Riau selama empat puluh delapan hari menunggu jawaban, lalu Residen memberitahukan kepada para utusan kita, bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah menerima surat kita dan telah mengutus kepada kita kapal uap Marnix. Demikian disampaikan kepada kita oleh kelima anggota perutusan. Mengapakah (utusan) Pemerintah Hindia Belanda datang ke mari sebelum waktu yang kita minta itu berakhir dan apa pulakah kesalahan kita? Kita harap supaya Pemerintah Hindia Belanda memberitahukannya supaya kita maklum.
Selanjutnya sahabat kita meminta perhatian kita mengenai rakyat kita yang mondar-mandir di tepi pantai dengan mengenakan senjata. Sebabnya itu ialah karena kapal yang ditumpangi sahabat kita berlabuh terlalu dekat, sedang rakyat yang belum pernah melihat jenis kapal itu ingin mempersaksikannya dari dekat. Juga kapal itu berlabuh bukan di tempat yang biasa kapal-kapal berlabuh. Karenanya kita harap, agar sahabat kita yang lebih maklum, tidak akan merasa kecil hati dan akan menyampaikan jawabannya besok kepada kita.
Akhirnya kita beritahukan, bahwa kita telah menghormati Pemerintah Hindia Belanda dengan menembakkan meriam sebanyak dua puluh empat kali, tetapi tidak menerima balasan dari sahabat kita.
Termaktub tanggal 25 Muharram tahun 1290 H.

PERNYATAAN PERANG
Komisaris Pemerintah Hindia Belanda Urusan Aceh, J.F.N. Nieuwenhuyzen
Menimbang, bahwa Pemerintah Hindia Belanda berkewajiban untuk mengamankan kepentingan umum di bidang niaga dan pelayaran di kepulauan Hindia Belanda dari setiap gangguan;
Bahwa kepentingan-kepentingan tersebut, akibat timbulnya perselisihan dan permusuhan di antara sesama negeri di dalam kerajaan Aceh yang di antaranya ada yang telah berkali-kali meminta perlindungan kepada pemerintah Hindia Belanda, terus menerus mengalami gangguan;
Bahwa, kendati dari pihak Pemerintah Hindia Belanda telah seringkali diusahakan untuk mengakhiri keadaan demikian guna menciptakan saling pengertian antara Aceh dengan Pemerintah Hindia Belanda, tetapi selalu terbentur pada ketidakmauan dan kesembronoan para penguasa Kerajaan yang bersangkutan karena ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan ketertiban dan keamanan di dalam daerah-daerah Kerajaan Aceh sebagaimana mestinya;
Bahwa daya upaya untuk itu bahkan dijawab dengan ketidaksetiaan justru pada saat-saat Pemerintah Hindia Belanda sedang mendekati Aceh dengan maksud baik;
Bahwa karenanya kepada Sultan Aceh telah dimintakan penjelasan-penjelasan, mula-mula dengan surat Komisaris bertanggal 22 bulan ini, kemudian bertanggal 24 berikutnya, yang bukan saja Sultan Aceh tidak memenuhinya sama sekali, tetapi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Sultan Aceh itu tidak dibantunya tetapi justru ia telah bertindak ke arah permusuhan;
Bahwa dalam hal itu tidak ada makna lain yang dapat dipahami selain, bahwa Aceh secara sengaja telah menghina Pemerintah Hindia Belanda dan karenanya Aceh telah mengambil sikap permusuhan;
Bahwa karenanya para penguasa kerajaan tersebut dianggap telah bersalah merusakkan perjanjian dagang, damai dan persahabatan yang diperbuat dengan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 30 Maret 1857 dan dengan baik para penguasa tersebut dapat dipercaya;
Bahwa tidaklah mungkin bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk membiarkan berlaku keadaan demikian lebih lama lagi tanpa menggunakan alat-alat kekerasan demi terjaminnya kepentingan perniagaan dan keamanan sendiri di bahagian Utara Pulau Sumatera.
Berdasarkan kekuasaan dan kewajiban yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda kepadanya, maka atas nama Pemerintah tersebut Komisaris menyatakan perang kepada Sultan Aceh dan selanjutnya akan menyampaikan kepada setiap orang akan akibat-akibat dan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan olehnya yang berlaku bagi setiap warga negara dalam masa peperangan.
Termaktub di kapal uap “Citadel van Antwerpen” yang berlabuh di perairan Aceh Besar, hari ini, Rabu, tanggal 26 Maret 1873.
Dto. J.F.N. NIEUWENHUYZEN
Disalin dengan sebenarnya oleh:
Sekretaris yang diperbantukan pada Komisaris Pemerintah Urusan Aech
Dto, Canter Visser
Isi Surat Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah tanggal 26 Muharram 1290 H (26 Maret 1873) kepada Komisaris Pemerintah urusan Aceh, Mr. J. F. N. Nieuwenhuyzen setelah Maklumat Perang dikeluarkan.
Selanjutnya kita maklumkan kepada sahabat kita, bahwa ktia telah menerima suratnya dengan selamat dan maklum seluruh isinya.
Di dalam surat itu sahabat kita menyebut, bahwa adalah tidak menyenangkan baginya (atau menimbulkan ketidaksenangan padanya) melihat rakyat kita mondar-mandir di pantai dengan membawa senjata. Tetapi janganlah sahabat kita merasa gusar melihat kejadian itu karena itu adalah watak bangsa Aceh.
Sekarang kita minta dengan sangat agar memperoleh jawaban atas surat yang telah kita kirim kepada sahabat kita hari ahad yang lalu.
Hari sabtu yang akan datang (lusa) kita akan memberi keputusan yang menentukan karena kita tetap mermperhatikan berapa lama sahabat kita berada di sini tanpa memperoleh sesuatu keputusan kita. Kita tidak menginginkan perang dengan sahabat kita; yang kita inginkan hanyalah suatu hubungan yang bersahabat.
Termaktub pada tanggal 26 Muharram, hari Rabu tahun 1290 H.
Sumber:
E.S. de Klerck, Atjeh-oorlog, I, KITLV Leiden 1912,
Alih Bahasa Aboe Bakar Dalam Diktat Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kerajaan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh, Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 1982.

No comments: